Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 22 Februari 2014

Cara Dan Bacaan Sholat Istisqa`

Cara Dan Bacaan Sholat Istisqa`
Istisqa’. Secara harfiah, istisqa’ artinya minta hujan. Sebagai istilah Agama Islam, denganistisqa’ dimaksudkan suatu ibadah tertentu yang berwujud doa-doa atau shalat untuk minta kepada Allah diturunkan hujan pada masa terjadinya kemarau dan musim kering yang panjang.
Dalam Putusan Tarjih (Muktamar Tarjih di Garut, 1976) dituntunkan, bahwa minta hujan itu dapat dilakukan secara perorangan atau berkelompok. Apabila berkelompok, maka diperlukan adanya imam dan dapat dilakukan dengan berdoa bersama saja, dengan dipimpin oleh imam atau dengan melakukan shalat. Apabila minta hujan itu dilakukan dengan berdoa saja, doa itu dapat dilakukan dalam khutbah Jum’at, atau di luar khutbah Jum’at, baik dalam masjid (di atas mimbar) maupun di luar masjid. Dan apabila dilakukan dengan shalat, hal itu dilaksanakan di lapangan, dengan khutbah sesudah shalat. Dan boleh juga khutbah dilakukan sebelum shalat. [Lihat, Putusan Tarjih, Berita Resmi Muhammadiyah, No. 76/1977, hal. 5 (teks Arab) dan hal. 22-23 (terjemahannya)]
Dalam kitab Subulus-Salam dinyatakan, bahwa berdasarkan berbagai hadits, terdapat enam cara Nabi saw melakukan minta hujan. Pertama, Nabi saw keluar ke lapangan melakukan shalat istisqa’ dengan khutbah. Kedua, Nabi saw berdoa minta hujan dalam khutbah Jum’at. Ketiga, Nabi saw berdoa minta hujan di atas mimbar di masjid Madinah di luar hari Jum’at, tanpa shalat. Keempat, Nabi saw minta hujan dengan berdoa, duduk di dalam masjid. Kelima, Nabi saw berdoa minta hujan di Ahjaruz-Zait, dekat az-Zaura’, di luar masjid. Dan keenam, Nabi saw minta hujan ketika di medan perang. (Subulus-Salam, II: 78)
Para ulama fiqih sepakat tentang adanya bermacam cara Nabi saw melakukan istisqa’ini. Kecuali Imam Abu Hanifah, yang berpendapat tidak ada shalat istisqa’ berjamaah untuk minta hujan; yang disyari’atkan hanya doa untuk minta hujan saja. Dalam Kitab-­kitab Hanafi diriwayatkan, bahwa Abu Hanifah berkata: “Untuk istisqa’ (minta hujan) tidak ada shalat jamaah yang disunnahkan” (Fath al-Qadir, 11:91; al-Fatawa al-Hindiyyah, 1:153)
Alasan jumhur ulama yang menyatakan adanya (disyariat­kannya) shalat istisqa’ adalah adanya hadits-hadits Nabi saw yang menyatakan bahwa Nabi saw melakukan shalat istisqa’dengan berjamaah dan tidak hanya dengan sekadar berdoa. Antara lain adalah hadits:
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَي النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ [رواه البخاري ورواه أيضا وأبو داود والنسائي وأحمد]
Artinya: “Dari Abbad Ibn Tamim, dari pamannya (yaitu Abdullah Ibn Zaid) yang mengatakan: “Saya melihat Nabi saw pada hari ia keluar minta hujan, beliau membelakangi orang banyak dan mengha­dap ke Kiblat sambil berdoa, kemudian membalik pakaian atasnya, kemudian shalat mengimami kami dua rakaat, dengan menyaringkan bacaan dalam keduanya.” [HR. al-Bukhari, dan diriwayatkan juga oleh Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad]
Hadits lain yang menjadi dasar adanya shalat istisqa’ adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ خَرَجَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَهُ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ [رواه ابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra (dilaporkan), bahwa dia berkata: Nabi saw pada suatu hari keluar untuk melakukan istisqa’, lalu ia shalat mengimami kami dua rakaat tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian ia berkhutbah dan berdoa kepada Allah, seraya menghadapkan mukanya ke arah Kiblat, sambil mengangkat kedua tangannya, kemudian memutar jubabnya, sehingga ujung kanannya berada di sebelah kiri dan ujung kirinya berada di sebelah kanan.”[HR. Ibnu Majah dan Ahmad]
Dalam Putusan Tarjih, selain hadits-hadits di atas, dikutip pula hadits panjang dari ‘Aisyah untuk menjadi dasar disyariat­kannya shalat minta hujan ini, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُحُوطَ الْمَطَرِ فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ فَوُضِعَ لَهُ فِي الْمُصَلَّى وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَبَّرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَالَ إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ وَقَدْ أَمَرَكُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَبَ أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ [رواه أبو داود]
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra (dilaporkan bahwa) ia berkata: Or­ang-orang telah mengeluh kepada Nabi saw tentang terhentinya hujan, lalu beliau menyuruh mengambil mimbar. Maka, orang-­orang pun menaruhnya di lapangan tempat shalat, dan beliau menjanjikan hendak mengajak mereka pada suatu hari ke tempat itu. ‘Aisyah melanjutkan: Rasulullah saw lalu berangkat pada waktu telah nyata sinar matahari, lalu ia duduk di atas mimbar, lalu membaca takbir dan memuji Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, kemudian beliau mengatakan: Kamu telah mengeluhkan kegersangan negerimu dan tertangguhnya hujan dari waktunya. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu supaya bermohon kepada-Nya dan menjanjikan akan memperkenankan permohonanmu itu. Kemudian beliau berdoa: Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan. Tiada Tuhan selain Allah, yang melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Ya Allah, Engkaulah Allah yang tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Kaya, sementara kami adalah miskin, turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang Engkau turunkan itu kekuatan dan bekal bagi kami untuk waktu yang lama. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya dan terus mengangkatnya, sehingga kelihatan ketiaknya yang putih. Kemudian ia membelakangi orang banyak dan membalikkan pakaian atasnya sambil terus mengangkat kedua tangannya, kemudian ia menghadap kembali kepada orang banyak dan turun dari mimbar lalu shalat dua rakaat.” [HR. Abu Daud, No. 1173]
Adapun alasan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa tidak ada shalat untuk minta hujan adalah hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah saw minta hujan dengan berdoa tanpa shalat. Antara lain, seperti hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ [رواه مسلم وأبو داود وأحمد]
Artinya:  “Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan) bahwa Nabi saw minta hujan seraya menadahkan kedua telapak tangannya ke langit.”
Beberapa ulama Hanafi menyanggah pendapat ini. az-Zaila’i (w. 762/1362) misalnya, menyatakan: “Bahwa Nabi saw melakukan istisqa’ (minta hujan) memang benar adanya. Akan tetapi bahwa ia minta hujan tanpa dengan shalat, ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa beliau melakukan shalat untuk minta hujan itu.” (Nasb ar-Rayah, II: 238). Bahkan, kedua murid beliau, Abu Yusuf (w. 182/798) dan Muhammad (w. 189/805), tidak mengikuti pendapatnya, melainkan mengikuti pendapat jumhur ulama.
Sesungguhnya, hadits-hadits yang dikemukakan di atas tidaklah saling bertentangan, melainkan menggambarkan beberapa cara Rasulullah saw minta hujan; ada kalanya dengan hanya berdoa saja dan ada kalanya dengan shalat berjamaah.
Khutbah Istisqa’. Dalam Putusan Tarjih dituntunkan, bahwa khutbah istisqa’ dilakukan setelah shalat istisqa’ sesuai dengan hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas. Akan tetapi dapat juga dilakukan sebelum shalat, berdasarkan hadits ‘Aisyah riwayat Abu Daud di atas. Mengenai apakah khutbah istisqa’ satu atau dua kali, tidak ada penegasannya dalam Putusan Tarjih. Hanya saja, apabila kita perhatikan hadits-hadits mengenai khutbah istisqa’ tidak ada satupun yang menyebutkan khutbah istisqa’ dua kali. Ini berarti, khutbah istisqa’ itu hanya satu kali seperti khutbah dua hari raya. Bahkan bila kita amati hadits Abu Daud dari ‘Aisyah di atas, tidak ada penyebutan duduk antara dua khutbah, sehingga karena itu dapat dipahami, bahwa khutbah istisqa’ itu adalah satu kali. Bahkan beberapa fuqaha memahami hadits Abu Daud dan Ibnu Abbas di bawah ini sebagai menunjukkan bahwa khutbah istisqa’ adalah satu kali. Hadits dimaksud adalah:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَبَذِّلًا مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى زَادَ عُثْمَانُ فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ [رواه أبو داود والنسائى والترمذي]
Artinya:  “(Ibnu Abbas menceritakan) Rasulullah saw berjalan dengan pakaian lusuh, dan dengan hati pasrah dan khusyuk hingga sampai ke lapangan tempat shalat -‘Utsman Ibn Abi Syaibah, salah seorang perawi dalam hadits ini menambahkan. “lalu Rasulullah saw naik ke atas mimbar”, kemudian kata-kata ‘Utsman dan an-Nufaili sama lagi- dan beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini, melainkan terus berdoa, khusyuk dan bertakbir, kemudian shalat dua rakaat seperti shalat dua hari raya.” [HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi]
Syamsuddin Ibnu Qudamah menyatakan: “Yang masyru’ adalah satu khutbah. Bagi kami, pernyataan Ibnu Abbad bahwa Nabi saw tidak berkhutbah seperti khutbah kamu ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengantarai khutbahnya de­ngan diam atau duduk antara dua khutbah, sebab semua mereka yang melaporkan khutbah tidak menyerukan adanya dua khutbah” (Asy-Syarh al-Kabir, bersama al-Mugni, II:289].
Az-Zaila’i mengomentari hadits ini dengan mengatakan: “Maksudnya adalah bahwa beliau berkhutbah, akan tetapi khutbahnya tidak dua kali seperti pada khutbah Jum’at, tetapi berkhutbah satu kali ... dan tidak diriwayatkan bahwa beliau pernah berkhutbah dua kali”(Nasb ar-Rayah, II:242).

Isi khutbah disampaikan dalam bahasa Indonesia. Arahnya mengajak jamaah untukistighfar dan tobat kepada Allah atas segala dosa yang telah dilakukan. Kemudian, khutbah ditutup dengan doa-doa. Utamanya yang maksud dari Nabi saw. Ketika membaca doa menghadap ke Kiblat, dengan membelakangi jamaah. Doa-doa yang dibaca adalah permohonan ampun dari Allah, seperti dalam khutbah pada umumnya dan ditambah de­ngan doa-doa khusus minta hujan, seperti:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ


Panduan ringkas shalat istisqo’ sebagai berikut.
Pertama: Hendaklah jama’ah bersama imam keluar menuju tanah lapang dalam keadaan hina, betul-betul mengharap pertolongan Allah dan meninggalkan berpenampilan istimewa (meninggalkan berhias diri).
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُتَبَذِّلاً مُتَوَاضِعًا مُتَضَرِّعًا حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى – زَادَ عُثْمَانُ فَرَقِىَ عَلَى الْمِنْبَرِ ثُمَّ اتَّفَقَا – وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِى الدُّعَاءِ وَالتَّضَرُّعِ وَالتَّكْبِيرِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan meninggalkan berhias diri, menghinakan diri dan banyak mengharap pertolongan Allah hingga sampai ke tanah lapang –Utsman menambahkan bahwa kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki mimbar- lalu beliau tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini. Akan tetapi, beliau senantiasa memanjatkan do’a, berharap pertolongan dari Allah dan bertakbir. Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[7]
Kedua: Imam berkhutbah di mimbar yang disediakan untuknya sebelum atau sesudah shalat istisqo’. Ketika itu tidak ada adzan dan iqomah.
Dalil yang menunjukkan bahwa khutbah tersebut dilaksanakan sesudah shalat istisqo’ adalah hadits Abdullah bin Zaid yang telah disebutkan di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdo’a”.”[8]
Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa khutbah tersebut boleh dilaksanakan sebelum shalat istisqo’ (2 raka’at) adalah hadits ‘Abbad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid), ia berkata,
خَرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتَسْقِى فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو ، وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melakukan istisqo’ (meminta hujan). Kemudian beliau menghadap kiblat dan merubah posisi rida’nya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya). Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan bacaannya.”[9]
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Berdasarkan hadits-hadits di atas, perintah untuk berkhutbah di sini ada kelonggaran, boleh dilakukan sebelum atau sesudah shalat. Pendapat ini adalah pendapat ketiga (dari perselisihan ulama yang ada) dan dipilih oleh madzhab Imam Ahmad, pendapat Asy Syaukani dan lainnya.”[10]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Tidak disunnahkan adzan dan iqomah pada shalat istisqo’. Kami tidak tahu kalau dalam masalah ini ada khilaf (perselisihan pendapat).”[11]
Ketiga: Hendaknya imam memperbanyak do’a sambil berdiri menghadap kiblat, bersungguh-sungguh mengangkat tangan ketika berdo’a (sampai nampak ketiak), dan hendaknya imam mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit. Para jama’ah ketika itu juga dianjurkan untuk mengangkat tangan. Kemudian imam ketika itu merubah posisi rida’nya (yang kanan di jadikan ke kiri dan sebaliknya)[12].
Sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Ditambah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan istisqo lalu ia mengangkat punggung tangannya dan diarahkan ke langit.[13]
Dalil yang menunjukkan bahwa para jama’ah juga ikut mengangkat tangan adalah hadits dari Anas bin Malik,
فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a. Kemudian para jama’ah ketika itu turut serta mengangkat tangan mereka bersama beliau untuk berdo’a.”[14]
Anas bin Malik juga mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِى شَىْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِى الاِسْتِسْقَاءِ ، وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak (bersungguh-sungguh) mengangkat kedua tangannya dalam setiap do’a beliau kecuali dalam do’a istisqo’. Ketika itu beliau mengangkat tangan sampai-sampai terlihat ketiaknya yang putih.”[15]
Keempat: Membaca do’a istisqo’.
Di antara do’a istisqo’ yang dibaca adalah:
اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْىِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada hamba-Mu, pada hewan ternak-Mu, berikanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati.”[16]
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.” [17]
Kelima: Mengerjakan shalat istisqo’ sebanyak dua raka’at sebagaimana shalat ‘ied. Sehingga pengerjaan shalat istisqo’, pada rakaat pertama ada takbir tambahan (zawaid) sebanyak tujuh kali dan pada rakaat kedua ada takbir rambahan (zawaid) sebanyak lima kali. Bacaan ketika shalat tersebut dijahrkan (dikeraskan).
Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّى فِى الْعِيدِ
Kemudian beliau mengerjakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melaksanakan shalat ‘ied.”[18]
Dari ‘Abdullah bin Zaid, beliau mengatakan,
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
Lalu beliau melaksanakan shalat dua raka’at dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaannya.”[19]
Catatan:
Istisqo’ (meminta hujan) juga bisa dilakukan tanpa keluar ke tanah lapang. Istisqo’ bisa dilakukan ketika khutbah Jum’at dan berdo’a ketika itu. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut.
Dari Anas bin Malik, beliau menceritakan: Ada seorang laki-laki memasuki masjid pada hari Jum’at melalui arah darul qodho’. Kemudian ketika Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menghadap kiblat sambil berdiri. Kemudian laki-laki tadi pun berkata, “Wahai Rasulullah, ternak kami telah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan (karena tidak ada pakan untuk unta, pen). Mohonlah pada Allah agar menurunkan hujan pada kami”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu beliau pun berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا ، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan pada kami.”
Anas mengatakan, “Demi Allah, ketika itu kami sama sekali belum melihat mendung dan gumpalan awan di langit. Dan di antara kami dan gunung Sal’i tidak ada satu pun rumah. Kemudian tiba-tiba muncullah kumpulan mendung dari balik gunung tersebut. Mendung tersebut kemudian memenuhi langit, menyebar dan turunlah hujan. Demi Allah, setelah itu, kami pun tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian ketika Jum’at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk melalui pintu Darul Qodho’ dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiri dan berkhutbah. Kemudian laki-laki tersebut berdiri dan menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sekarang ternak kami malah banyak yang mati dan kami pun sulit melakukan perjalanan. Mohonlah pada Allah agar menghentikan hujan tersebut pada kami.” Kemudian Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lalu berdo’a:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan
Setelah itu, hujan pun berhenti. Kami pun berjalan di bawah terik matahari. Syarik mengataka bahwa beliau bertanya pada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki yang kedua yang bertanya sama dengan laki-laki yang pertama tadi?” Anas menjawab, “Aku tidak tahu.”[20]
Dari riwayat di atas, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah memberikan faedah berharga, “Hadits ini menunjukkan bolehnya do’a istisqo’ dibaca ketika khutbah Jum’at. Do’a ini dibaca di mimbar, tanpa perlu menukar posisi rida’ dan tanpa perlu menghadap kiblat. Hadits ini juga menunjukkan boleh mencukupkan shalat jum’at untuk menggantikan shalat istisqo’.”

Kamis, 20 Februari 2014

Transaksi Al Ijarah Al Muntahiyah Bit Tamlik (Sewa Beli)

Transaksi Al Ijarah Al Muntahiyah Bit Tamlik (Sewa Beli)

Krisis iman dan krisis ekonomi dewasa ini ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian tinggi terkadang menjadi pemicu seorang muslim untuk mencari kesempatan dan cara yang dianggapnya tepat dan pas tanpa peduli bagaimana hukum dalam Islam. Apalagi dipacu oleh upaya produsen dan industri dalam memasarkan produknya kemasyarakat yang tanpa memandang halal dan haram lagi.
Sehingga bermunculanlah beragam muamalah dengan beraneka ragam cara dan coraknya. Diantaranya adalah transaksi sewa beli atau dikenal dengan istilah leasing di masyarakat kita dan mulai dikenalkan dengan istilah lain oleh lembaga keuangan syariat dengan nama Al Ijaarah Al Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT), yang artinya transaksi sewa (ijaarah) yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan barang sewaannya.

Perkembangan Transaksi Sewa Beli

Transaksi model ini adalah bentuk pengembangan dari jual beli kredit (ba’i at taqsiith) dan dikenal dengan jual beli kredit dengan menjaga kepemilikan (untuk penjual) sampai terlunaskan angsurannya (vent atem cerment). Lalu berkembang dengan beraneka ragam corak dan namanya sesuai dengan marhalah berikut ini:
1. Fase Sewa Beli (Hire-Purchase atau Location-Vente)
Resiko macet kredit dalam jual beli kredit mendorong para pedagang untuk menemukan cara baru yang dapat menjaga kepemilikan barangnya sampai terlunaskan kreditnya tersebut tanpa ada syarat khusus. Transaksi ini dinamakan sewa beli atau dalam bahasa Arabnya al-Bai’ al-Ijaari atau al-Ijaar al-bai’i atau al-Ijaar as-Saatir Lilbai’. Dalam bahasa Inggris dinamakan Hire-Purchase dan dalam bahasa Prancis dikenal dengan Location-Vente.
Pengertiannya adalah sewa yang disertai jual beli yang menyebabkan perpindahan kepemilikan barang dari penjual yang menyewakan kepada pembeli yang menyewa, dengan ketentuan penyewa membayar angsuran tertentu dalam waktu tertentu. Disini apabila penyewa telah menyempurnakan pembayaran sewanya dalam waktu yang telah disepakati maka kepemilikan akan pindah menjadi milik penyewa. Apabila penyewa tidak dapat menunaikan dengan sempurna syarat transaksi maka pembayaran tersebut dianggap sebagai pebayaran sewa semata dan transaksi batal serta barang kembali menjadi milik penyewa. Dengan demikian transaksi ini merupakan rekayasa tepat dari para penjual untuk menjaga kepemilikan barang dagangannya sampai waktu pembayaran sempurna seluruhnya.
Sejarah fase ini dikenal pertama kali pada tahun 1846 masehi di Inggris, dan yang memulai bertransaksi dengan akad ini adalah seorang pedagang alat-alat musik di inggris, dia menyewakan alat musiknya yang diikuti dengan memberikan hak milik barang tersebut, dengan maksud adanya jaminan haknya itu. Setelah itu tersebarlah akad seperti ini dan pindah dari perindividu ke pabrik-pabrik, dan yang pertama kali menerapkannya adalah pabrik “Singer” penyedia alat-alat jahit di inggris. Selanjutnya berkembang, dan tersebar akad ini dengan bentuk khusus di pabrik-pabrik besi yang membeli barang-barang yang sudah jadi, lalu menyewakannya Kemudian setelah itu tersebar akad semacam ini dan pindah ke Negara-negara dunia, hingga ke Amerika Serikat pada tahun 1953 masehi. Lalu tersebar dan pindah ke Negara Perancis pada tahun 1962 masehi.Terus tersebar dan pindah ke Negara-negara Islam dan Arab pada tahun 1397 Hijriyah.
2. Fase Sewa Bersama Janji Jual Beli (al-Ijaarah al-Maqrunah bi Wa’din bil Bai’ atau Location-Accession)
Diantara bentuk perubahan sewa beli sebagai akibat kekhawatiran para pedagang dari resiko dan aturan jual beli kredit adalah munculnya sewa diikuti dengan janji jual beli. Caranya diadakan transaksi sewa menyewa lalu disertai dengan janji penjualan dari pihak pemiliki (al-Mu’jir) untuk kemaslahatan penyewa (Musta’jir) apabila penyewa menampakkan keinginannya untuk membeliselama masa penyewaan atau waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan dua belah pihak.
3. Fase Leasing (al-Ijaarah at-Tamwiliyah atau credit-bail)
Para pengusaha dan pedagang mencari sistem baru dalam jual beli kredit ini yang aman dari resiko yang ada dan menghindari dari peraturan jual beli kredit yang biasa. Maka muncullah istilah leasing sesuai penamaan dalam hukum Anglo Amerika ketika transaksi ini muncul di Amerika pada tahun 1953 M dan dikenal di undang-undang negara Prancis dengan nama Credit-Bail ketika masuk ke negara ini pada tahun 1962 M.
Sistem leasing ini memiliki kekhususan dibandingkan dengan sebelumnya yaitu:
  1. Ia adalah transaksi sewa murni dengan memberikan kepada penyewa hak memilih setelah selesai masa penyewaan tiga pilihan:
    1. Memiliki barang dengan kompensasi membayar nilai yang telah disepakati ketika transaksi.
    2. Mengembalikan barang kepada pemilik barang (mu’jir/pemberi sewa)
    3. Memperbaharui transaksi sewanya.
  2. Transaksi ini mengambil cara tersendiri dengan masuknya pihak ketiga antara dua transaktor tersebut (al-Mu’jir dan al-Musta’jir). Pihak ketiga inilah yang membiayai transaksi dengan membelikan barangnya kemudian menyewakannya kepada siapa saja yang ingin bertransaksi padanya dalam waktu tertentu dengan kompensasi pembayaran sewa yang tertentu. Sehingga barang bukanlah milik pemberi sewa.
Dengan demikian transaksi ini berkembang dengan menyatukan transaksi sewa beli dari satu sisi dengan pembiayaan dari sisi lainnya, untuk mempermudah proses sewa menyewa atau jual beli sesuai kesepakatan akhir transaksi.
Akhirnya berdirilah lembaga leasing ini di hampir semua negara didunia termasuk negara-negara islam hingga saat ini.

Apa itu Al Ijaarah Al Muntahiyah Bit Tamlik?

Banyak ekonom syariat mendefinisikan Al Ijaarah Al Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) dalam banyak ungkapan, namun dapat disimpulkan IMBT adalah transaksi sewa barang yang diakhiri dengan pemindahan pemilikan barang kepada penyewa. Nampak transaksi ini sejenis perpaduan antara kontrak jual-beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
IMBT ini memiliki beragam bentuk sesuai dengan penerapannya atau rekayasa bentuk kebentuk yang lainnya. Namun dalam kesempatan ini kami utarakan tujuh bentuknya yang sudah masyhur.
1. IMBT tanpa membayar kecuali angsuran sewa saja
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan barang yang disewa dengan kompensasi pembayaran berupa uang yang benar diserahkan, seperti angsuran sewa pada barang yang disewa tersebut selama masa tertentu. Penyewa (musta’jir) menjadi pemilik barang yang disewa tersebut secara outomatis dengan pelunasan angsuran terakhir tanpa mengadakan transaksi baru.
Contohnya: seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: “saya sewakan rumah ini setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa apabila telah selai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut maka rumah tersebut menjadi milik penyewa sebagai kompensasi pembayaran angsuran sewa tersebut”.
Bentuk ini telah menyatukan antara sewa dengan jual beli bergantung pada pelunasan seluruh nilai barang. Transaksi ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang membuatnya haram. Diantara alasan pengharamannya adalah:
  1. Transaksi tidak tetap pada satu diantara dua transaksi tersebut. Karena ia berada antara menyempurnakan transaksi maka menjadi jual beli dan tidak sempurna sehingga yang dibayar menjadi uang sewa saja.
  2. Terdapat jahalah (ketidak jelasan) nilai barang dan sewanya dengan sebab ia berada diantara kedua transaksi tersebut.
  3. Transaksi ini ada gharar-nya dan termasuk bab memakan harta orang lain dengan batil; karena penyewa (musta’jir) kadang tidak mampu membayar hingga akhir sehingga tidak mendapatkan barang padahal apabila hal itu jual beli ia telah berhak mendapatkan barang dan wajib melunasinya dengan membayarnya. Bisa juga menjual barang tersebut dan menggunakan sebagiannya untuk menutupi kekurangan pembayaran. Demikian juga pembeli berhak mendapatkan nilai pembayarannya ketika transaksi gagal karena ada aib atau sejenisnya. Kalau ia tidak mampu sehingga dianggap membayar sewa atas pemakaiannya maka ia telah membayar lebih mahal dari biasanya, karena berharap mendapatkan kepemilikan barang tersebut.  Sehingga pembeli rugi nilai pembayaran dan barangnya sedangkan penjual beruntung mendapatkan pembayaran dan barangnya. Dalam hal ini terdapat kezhaliman atas salah satu transaktornya. Gharar-nya ada karena ia masuk dalam transaksi atas barang yang bisa dia dapatkan kalau mampu melunasi seluruh angsuran dan bisa tidak dapat, sehingga ia telah membayar pada sesuatu yang spekulasi antara memiliki atau tidak memilikinya.
  4. Kedua transaksi yaitu sewa dan beli ada pada satu barang. Dilihat dari prakteknya jelas adanya saling bertentangan antara dua transaksi ini. Dalam sewa menyewa tanggung jawab dan pemeliharaan ditanggung pemilik (orang yang menyewakan). Dalam prakteknya ternyata semua ini menjadi tanggung jawab pemakai atau penyewa. Sehingga jelas ini adalah jual beli atau sewa menyewa dengan syarat menyelisihi hukum-hukumnya.
Oleh karena itu bentuk ini diharamkan dalam fatwa Hai’ah Kibaril Ulama (Majlis Ulama Besar) Saudi Arabia dalam keputusan no. 198 tanggal 6/11/1420 H.
2. Sewa disertai dengan penjualan barang yang disewa dengan harga simbolik
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi sewa yang memungkinkan penyewa (musta’jir) untuk memanfaatkan barang yang disewanya dengan membayar uang sewa tertentu dalam masa tertentu. Dengan ketentuan penyewa (musta’jir) mendapatkan hak memiliki barang yang disewa tersebut diakhir masa penyewaan dengan membayar uang simbolik sejumlah tertentu.
Contohnya: seorang pemilik rumah menyatakan kepada penyewanya: “saya sewakan rumah ini setiap bulannya Rp 4.000.000; selama lima tahun lamanya. Ketentuannya penyewa apabila telah selai sempurna pembayaran uang sewa selama lima tahun tersebut maka rumah tersebut menjadi milik penyewa dengan membayar sejumlah uang simbolik yang sudah ditentukan”.
Bentuk ini mengakibatkan ghabn dan memakan harta orang lain dengan batil; hal ini karena dalam keadaan transaksi sewa gagal dan penyewa (musta’jir) tidak mampu melunasi semua nilai sewanya maka ia kan kehilangan kepemilikan barang yang ia inginkan kepemilikannya. Juga kehilangan angsuran besar yang lebih mahal dari angsuran sewa umumnya.
Hukum bentuk ini adalah haram.
 3. Sewa disertai dengan penjualan barang yang disewa dengan harga yang sebenarnya (harga umum)
Ini sama dengan bentuk kedua hanya saja nilai pembayaran penjualannya dengan harga yang sebenarnya (harga umum). Bentuk ini mengandung transaksi ganda pada satu barang yang mengakibatkan adanya jahalah (ketidak jelasan) barang dan nilainya. Maka hukumnya haram.
 4. Sewa disertai dengan janji penjualan
Hal ini terjadi dengan sempurnanya kesepakatan untuk penyewaan barang dengan janji jual beli di akhir masa apabila sempurna pelunasan uang sewanya; baik hal itu  dengan pembayaran sejumlah uang yang dibayarkan diakhir masa sewa secara simbolik atau sebenarnya bersama pelunasan seluruh angsuran sewa yang disepakati pelunasannya dalam masa-masa tersebut atau angsuran sewa tersebut adalah nilai jual barang tersebut dan tidak disepakati untuk membayar pembayaran lainnya baik secara simbolik atau sebenarnya (hakiki) sesuai kesepakatan kedua transaktor di akhir masa sewa.
Bentuk ini diperbolehkan apabila janjinya tidak mengikat harus jadi.
5. Sewa berakhir dengan memberikan hak pilih memiliki atau tidak
Hal ini dapat dijelaskan dengan transaksi penyewaan dengan memberikan hak pilih kepada penyewa  setelah selesai melunasi angsuran sewa seluruhnya untuk memilikih satu diantara tiga :
  1. Mmbeli barang tersebut dengan harga pasar (umum) ketika selesai masa sewa atau dengan nilai tertentu yang ditentukan ketika transaksi terjadi.
  2. Memperpanjang masa sewa.
  3. Menyelesaikan transaksi sewa dan mengembalikan barangnya kepada pemiliknya.
Bentuk ini diperbolehkan dan diusulkan untuk dipraktekkan oleh Majma’ al-Fiqhi al-Islami dalam muktamar ke-5 dalam keputusan no. 6.
6. Pembiayaan leasing (al-Ijaarah at-Tamwiliyah)
Bentuk ini merupakan perkembangan dari Al Ijarah Al Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) dengan ketentuan bahwa pihak yang melakukan pembiayaan adalah pihak ketiga. Bisa pihak ketiga ini yang membeli langsung kepada pihak pemilik barang atau mewakilkan pembelian kepada nasabah yang membutuhkan barang tersebut, kemudian melakukan penyewaan dengan salah satu bentuk IMBT terdahulu sebagai sewa berakhir dengan kepemilikan.
Bentuk ini sangat berhubungan erat dengan murabahah murakkabah dan hukumnya.
 7. IMBT dengan pembayaran bertahap pada pembelian barang yang disewa
Hal ini dapat dijelaskan dengan bersepakatnya antara lembaga keuangan dengan nasabahnya untuk nasabah membeli misalnya 50 % dari barang yang akan di sewakan yang dimiliki lembaga keuangan dengan pembelian tunai atau tempo dengan cara murabahah. Kemudian lembaga keuangan menyewakan barang yang dimilikinya tersebut kepada nasabah sebagai musta’jir (penyewa) dengan jual beli bertahap untuk bagian lembaga keuangan sampai selesai transaksi kepemilikan barang sempurna untuk nasabah. Dalam pengertian stiap masa nasabah membayar uang sewa barang yang akan mengurangi jumlah saham. Apabila nasabah telah membayar seluruh saham maka barang tersebut menjadi miliknya.
Demikian juga hukum bentuk ini berhubungan erat dengan al-Musyarakah al-Mutanaqishah dan hukum-hukumnya.

Supaya IMBT Tidak Melanggar Syari’at

Banyaknya bentuk dari IMBT ini membuat para ulama yang tergabung dalam Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami internasional yang merupakan bagian dariMunazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI) dalam daurahnya yang ke-12 di kota Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia[1] menjelaskan kriteria IMBT yang tidak melanggar syariat. Mereka melakukan muktamar dengan melihat makalah-makalah yang disampaikan kepada Al-Majma’ berkenaan dengan masalah sewa yang berakhir dengan pemilikan (al-Ijaar al-Muntahi bittamliik) . Juga setelah mendengar diskusi yang berkisar masalah ini dengan peran serta anggota Al-Majma’ dan para pakarnya serta sejumlah ahli fikih, menetapkan kriterianya.
Mereka membagi kriteria menjadi dua :
Pertama: ketentuan bentuk-bentuknya yang terlarang adalah adanya dua transaksi yang berbeda dalam satu waktu pada satu barang di satu waktu.
Kedua: Ketentuan bentuk-bentuk yang diperbolehkan:
  1. Adanya dua transaksi yang terpisah setiap darinya berdiri sendiri dari yang lainnya secara waktu. Dimana transaksi jual beli dipermanenkan setelah transaksi ijaarah (sewa menyewa) atau adanya janji kepemilikan di akhir masa sewa dan hak khiyaar setara dengan janji tersebut dalam hukum.
  2. Sewa menyewa tersebut benar-benar ada (fi’liyyah) bukan sebagai kamuflase (saatirah) jual beli.
  3. Jaminan (dhamaan) barang yang disewakan adalah tanggung jawab pemilik, bukan pada penyewa. Dengan demikian penyewa tidak memikul semua yang menimpa barang tersebut yang ada bukan dari kesengajaan atau keteledoran penyewa. Penyewa tidak diwajibkan sama sekali apabila manfaat barang hilang.
  4. Apabila transaksi mengandung asuransi barang sewaan, maka wajib asuransinya ta’awuni syariat bukan konvensional dan yang bertanggung jawab (bayar) adalah pemilik atau yang memberikan sewaan (al-mu`jir) bukan kepada orang yang menyewanya (al-musta`jir).
  5. Diwajibkan penerapan hukum-hukum sewa menyewa selama masa penyewaan pada transaksi sewa yang berakhir dengan kepemilikan dan penerapan hukum-hukum jual beli ketika pemilikan barang tersebut.
  6. Nafkah pemeliharaan yang tidak menyangkut operasional tanggung jawab pemberi sewaan (al-mu’jir) bukan kepada penyewa (al-musta`jir) selama masa penyewaan.
Demikian juga menurut fatwa Dewan Syariah Nasional No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT, yang mengharuskan terlaksananya akad ijaarah dulu, lalu akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijaarah selesai. Karena itu janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad atau janji yang hukumnya tidak mengikat. Jadi jika janji tersebut ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah (sewa) selesai.[2]
Wabillahittaufiq.

Makalah ini disusun dengan perubahan dan peringkasan dari kitab al-‘Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah karya DR. Abdullah bin Muhamma al-‘Umrani, cet pertama tahun 1428 penerbit daar Kunuuz Isybiliya dari hlm 193 – 227.


[1] Pertemuan ini diselenggarakan pada tanggal 5 Jumada al-akhirah 1321 Hijriyah hingga awal bulan Rajab 1421 H = 23-28 September 2000 M
[2] Fatwa ini disampaikan penulis secara bebas tidak terikat dengan teks fatwanya yang asli.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel KlikUk.Com, diedit dan dipublikasi ulang oleh Muslim.Or.Id